Bagi sebagian besar orang, ada dua agenda yang menguras
perhatian terkait perkembangan sepakbola nasional belakangan ini, yang pertama
Kongres Luar Biasa (KLB) yang akan digelar besok, 17 Maret 2013, dan persiapan
timnas menjelang kualifikasi Piala Asia 2015 kontra Arab Saudi. Masing-masing
agenda itu punya dinamikanya sendiri. Registrasi peserta KLB bahkan diwarnai adu pukul antara seorang
pengurus caretaker Pengprov Sulawesi Selatan dengan panitia. Belum lagi niatan
18 caretaker Pengprov yang merasa masih sah menjadi pengurus karena mendapatkan
SK dan dilantik sendiri oleh Prof. Djohar Arifin, untuk tetap hadir di KLB
meskipun tidak diundang untuk hadir. Sementara terkait persiapan timnas
menjelang pertandingan melawan Arab Saudi, kita sama-sama sudah tahu bagaimana
dinamikanya. Harapan publik sepakbola Indonesia untuk melihat timnas yang diisi
oleh pemain-pemain “terbaik” terancam kandas gara-gara kekurang dewasaan
beberapa pemain kita dalam menyikapi situasi.
Well, jika mayoritas pecinta sepakbola Indonesia mulai pagi
hari tadi hingga menjelang berganti hari sibuk berperang opini mengenai dua
topik tersebut, percayalah, mayoritas pecinta sepakbola di Sleman dan Bantul
hari ini sama sekali tidak memikirkan hal-hal itu. Ya, bagi pecinta sepakbola
di Sleman dan Bantul, ada satu hal yang jauh lebih penting hari ini, yaitu
pertandingan ujicoba antara PSS Sleman melawan Persiba Bantul. Meskipun hanya
bertajuk ujicoba, bagi publik sepakbola Bantul dan Sleman, derby DIY jauh lebih
penting daripada meributkan soal voter Solo dalam kongres ataupun ancaman
“tampol-tampolin” dari seorang Hamka Hamzah. Partai yang berlangsung pada pukul
19.00 malam ini menjadi semacam katarsis bagi publik sepakbola Sleman dan
Bantul, untuk menepi sejenak dari hiruk pikuk konflik pengelolaan
persepakbolaan nasional, yang belum gamblang masa depannya ini.
Dalam pertandingan ujicoba ini, PSS Sleman yang bermain di
kasta lebih rendah berhasil memukul Persiba Bantul, yang notabene musim lalu
berada di peringkat ketiga IPL. Sebuah gol dari Moniega dan sebuah gol dari bek
sayap Satrio Aji, hanya mampu dibalas oleh sebuah gol dari sepakan I Made
Wirahadi di babak kedua. Skor akhir 2-1 untuk kemenangan Super Elja.
Pertandingan ini sendiri diwarnai keluarnya 3 kartu merah, yang menunjukkan betapa
tingginya tensi pertandingan antar dua tim asal DIY ini. Kericuhan antar pemain
sempat terjadi dan tampaknya Persiba mengancam akan melakukan Walkout. Namun
rupanya, suasana yang panas di dalam lapangan tidak sampai berimbas kepada
pendukung kedua tim yang malam ini sama-sama mewarnai Stadion Maguwoharjo
Sleman. Di tribun, baik pendukung PSS Sleman maupun Persiba tetap bernyanyi,
tanpa mengolok-olok satu sama lain. Suasana di ramp Stadion Maguwoharjo paska
pertandingan usai jauh lebih indah lagi. Lagu “di sini Sleman di sana Bantul di
mana-mana kita saudara” terus menggema mengiringi kepulangan suporter kedua
tim.
Ada satu momen menarik dalam pertandingan ini. Brigata Curva
Sud (BCS), yang memang dikenal sebagai jagoan koreografi, membuat atraksi koreo
besar-besaran, plus membakar tribun selatan Stadion Maguwoharjo dengan red
flare yang membara sebelum dan sesudah pertandingan. Koreo yang disajikan oleh
rekan-rekan BCS ini cukup spesial. Mereka membuat bentuk wajah berwarna kuning
yang tersenyum dipadu dengan garis-garis strip warna putih dan hijau. Menjelang
babak kedua dimulai, MC pertandingan menjelaskan makna koreografi dari
rekan-rekan BCS ini. Wajah kuning yang tersenyum ini menggambarkan senyum
bahagia atas pencapaian PSS Sleman belakangan ini, yang merangkak perlahan
untuk menjadi sebuah klub sepakbola profesional. Senyum ini juga diberikan
kepada Slemania dan Paserbumi, yang malam itu turut memeriahkan pertandingan di
Stadion Maguwoharjo Sleman melalui aksi-aksinya. Seingat penulis, itulah makna dari
koreografi BCS pada pertandingan derby DIY ini. Tapi bagi penulis ada satu
makna lagi yang kiranya bisa tersampaikan dari koreografi wajah kuning yang
tersenyum itu.
Wajah kuning yang tersenyum itu melemparkan senyumnya untuk
sepakbola Indonesia. Di tengah carut marut pengelolaan sepakbola Indonesia,
suporter tetap tersenyum. Mereka tetap berdiri di tribun dan meneriakkan
yel-yel untuk mendukung klub kesayangan mereka. Wajah kuning yang tersenyum itu
seolah ingin berkata “Silahkan kalian yang di sana berebut kekuasaan agar bisa
membangun citra melalui sepakbola. Tapi di sini, berdiri suporter-suporter
sepakbola yang tidak mudah dibodohi. Percayalah, kami, suporter-suporter klub
sepakbola Indonesia, tidak bisa dengan mudah dimanipulasi untuk memberikan
suara kepada kalian. Yang kami inginkan hanya sepakbola dan klub kesayangan
kami bermain dengan baik, bukan yang lain”. Wajah kuning yang tersenyum hangat
itu seolah mengingatkan bahwa yang diemban oleh orang-orang yang besok akan
menghadiri KLB adalah mimpi jutaan pecinta sepakbola Indonesia, yang rindu
punya sepakbola dalam negeri yang lebih berkualitas. Wajah kuning yang
tersenyum itu juga seolah mengingatkan pemain-pemain yang saat ini mendapat
panggilan tugas untuk membela panji-panji Merah Putih, bahwa di pundak
merekalah harapan pecinta sepakbola Indonesia tertumpu. Publik sepakbola
Indonesia Cuma ingin timnas yang berprestasi, tanpa ada ancaman untuk saling
men-tampol satu sama lain.
Senyum dari Sleman ini juga mengingatkan bahwa kita semua
masih satu Indonesia. Pertandingan derby DIY kali ini memang terasa panas di
dalam lapangan. Namun toh, para suporter yang berbeda seragam itu pada akhirnya
kembali berangkulan dalam suasana hangat, bernyanyi bersama sambil berjalan
keluar dari stadion, dan tidak ada lagi dendam di luar stadion. Ya, bukankah
sepakbola sebenarnya sesimpel itu? Semua mati-matian berjuang di dalam stadion,
baik pemain maupun suporter. Begitu peluit panjang dibunyikan wasit, maka usai
sudahlah pertarungan itu. Semua kembali menjadi sama, semua kembali menjadi
sahabat. Jika prinsip itu dipegang teguh,bukankah tak akan ada lagi orang yang
terbunuh hanya gara-gara berbeda seragam? Bukankah tidak akan ada lagi
orang-orang yang berusaha menguasai sepakbola demi ambisi pribadinya?
Alangkah indahnya berutopia, karena memang kenyataan yang
ada tak seindah yang dibayangkan. Koreografi wajah kuning yang tersenyum itu
mungkin tidak dimaksudkan untuk memiliki makna seluas yang penulis jabarkan.
Tapi tak ada salahnya senyum yang terkembang dari derby DIY yang panas ini
diberikan juga bagi petinggi-petinggi PSSI yang besok berkongres dan bagi
putra-putra terbaik bangsa yang ambil bagian dalam seleksi timnas untuk Pra
Piala Asia. Semoga saja dalam kongres KLB besok, yang para petinggi itu
perjuangkan hanyalah sepakbola Indonesia yang lebih baik. Semoga saja para
peserta KLB besok menyingkirkan jauh-jauh keinginan untuk menguasai sepakbola
Indonesia demi ambisi pribadi mereka. Semoga saja para pemain yang dipanggil
untuk masuk timnas itu benar-benar pula mau menyingkirkan ego mereka, sehingga
melalui aksi-aksi di lapangan, mereka akan mampu membuat publik sepakbola
Indonesia tersenyum.
Semoga saja, senyum dari Sleman ini mampu mengabarkan
hal-hal yang positif bagi sepakbola Indonesia yang lebih baik.
I LOVE SLEMAN
BalasHapussleman belong's to me
BalasHapus