Baginya, Brigata Curva Sud (BCS) adalah hal yang baru
pertama kali ditemui di tengah-tengah citra buruk supporter sepakbola
Indonesia. Dengan semangat ala ultras yang dibawanya, BCS mewarnai tribun
selatan Stadion Maguwoharjo ketika PSS bertanding.
Saya jadi ingin menulis sesuatu tentang BCS. Jika selama ini
Sleman identik dengan Slemania, yang pernah menjadi supporter terbaik di
Indonesia, maka kemapanan itu mulai diusik dengan keberadaan BCS. Saya tidak
tahu persis kronologis berdirinya BCS. Namun saya mencatat BCS mulai
menampakkan eksistensinya pada kompetisi Divisi Utama musim 2009/2010. Saya
yang selalu menyaksikan pertandingan PSS Sleman dari tribun sebelah timur
mengamati sekelompok supporter PSS berbaju hitam yang gemar menyanyikan chants
berbahasa asing untuk mendukung PSS Sleman. Kelompok supporter berbaju hitam
tersebut awalnya bukanlah kelompok yang besar, hanya terdiri dari beberapa
puluh orang. Musim selanjutnya, sepertiga tribun kuning, yang kira-kira
berkapasitas total 7.000 orang dipenuhi oleh supporter berbaju hitam. Saat itu
saya masih menyebut kelompok tersebut dengan nama Ultras PSS, meskipun
sebenarnya nama Brigata Curva Sud sudah mulai eksis. Musim 2011/2012 ini jumlah
supporter berbaju hitam yang menyebut dirinya sebagai BCS semakin bertambah
banyak. Pada pertandingan kandang terakhir musim 2011/2012 yang lalu, saat PSS
melawan PPSM KN Magelang, seluruh tribun kuning dipenuhi oleh pasukan BCS.
Semua yang ada di tribun kuning ikut berdiri dan bernyanyi sepanjang 2x 45
menit. Hal ini menghadirkan suasana mistis yang menggetarkan di stadion
Maguwoharjo Sleman.
Apa yang menjadi ciri khas BCS dalam memberikan dukungan
bagi PSS Sleman? Ciri yang paling khas adalah BCS selalu mengenakan kaos
berwarna hitam dan memberlakukan wajib bersepatu ketika menyaksikan PSS
bertanding. Keringat pemain yang berlari-lari sepanjang 2x 45 menit di lapangan
harus diapresiasi dengan sopan. Caranya adalah dengan berpenampilan pantas
ketika menyaksikan PSS berlaga. BCS berdiri dan bernyanyi selama 2 x 45 menit
tanpa henti. Lagu-lagu (chants) yang dinyanyikan hampir semua adalah lagu baru
yang belum pernah dinyanyikan oleh kelompok supporter lain di Indonesia. Ada
satu lagu yang dijiplak dari lagu yang dinyanyikan oleh Curva Sud Milano
(Suporter AC Milan) dan beberapa lagu berbahasa Inggris. Pada saat babak kedua
akan dimulai, BCS akan melakukan koreo. Koreo ini merupakan kombinasi gerakan
menggunakan kertas warna-warni dan membentuk pola tertentu. Koreo ini lazim
dilakukan oleh supporter-suporter di Italia. Di Indonesia, banyak kelompok
supporter melakukan gerakan koreo ini. Yang membedakan dari BCS adalah mereka
berani menciptakan bentuk-bentuk yang sulit melalui koreo tersebut. Dan di
akhir pertandingan, BCS selalu melakukan pyro show. Hal ini juga sudah banyak
dilakukan oleh supporter sepakbola di Indonesia. Hanya saja aksi pyro show yang
sedikit unik pernah dilakukan BCS pada musim 2010/2011 yang lalu kala menjamu
Persebaya. Saat itu BCS menyalakan kembang api dan berjajar memanjang di
sepanjang tribun selatan.
Koreo BCS Saat PSS vs PPSM KN (27/5)
BCS di dalam memberikan dukungan bagi PSS Sleman berusaha
menghindari lagu-lagu yang berbau rasis atau ancaman secara verbal. Jika
biasanya supporter sepakbola Indonesia sering mengintimidasi lawannya dengan lagu
“dibunuh saja”, BCS tidak pernah menyanyikan lagu dengan kalimat seperti itu.
Tidak pernah pula BCS menyanyikan lagu-lagu yang menghina supporter tim lain.
Meskipun sempat terlibat perseteruan dengan kelompok supporter lain, BCS tidak
pernah merendahkan nama supporter lain ketika memberikan dukungan bagi PSS.
BCS adalah anomaly bagi supporter sepakbola Indonesia, yang
baru saja tercoreng moreng namanya gara-gara empat nyawa melayang atas nama
supporter sepakbola. Meskipun aksinya tergolong garang, namun BCS berusaha
menghapuskan image kekerasan dan intimidasi berlebihan ketika mendukung tim
kebanggaannya melalui tingkah laku mereka di stadion. Selain dukungan penuh
yang diberikan di dalam lapangan, BCS juga terkenal tertib membeli tiket. Bagi
mereka, menonton pertandingan dengan membeli tiket dengan harga penuh merupakan
salah satu bentuk dukungan bagi tim kesayangannya. Di tengah banyaknya
supporter sepakbola yang berusaha mencari gratisan untuk menonton tim
kesayangannya bertanding, apa yang dilakukan oleh BCS ini merupakan hal yang
patut untuk dicontoh.
Saya bukan seorang BCS. Saya bukan juga Slemania yang setia
duduk di tribun hijau (tribun yang diperuntukkan bagi Slemania). Saya adalah
pendukung PSS Sleman yang dari dulu sampai sekarang selalu ijen (sendirian).
Saya tidak pernah bergabung dengan komunitas apapun. Bahkan ketika PSS Sleman
bermain di Palangkaraya minggu lalu saya ikut menyusul ke sana sendirian. Namun
saya kagum dengan rekan-rekan BCS. Militansi yang mereka tunjukkan membuat saya
semakin mencintai PSS. Bukan hanya saya yang kagum. Banyak penonton di tribun
merah berlomba-lomba mengabadikan aksi koreo yang menawan dari BCS. Bagi saya
BCS adalah setetes air segar bagi persepakbolaan Indonesia. Rasa cinta yang
besar bagi tim kesayangannya tidak harus ditunjukkan dengan intimidasi
berlebihan bagi tim lawan dan tindak-tindak anarkisme. BCS tidak mengenal
koalisi-koalisi-an. Siapapun supporter sepakbola, asal tidak membuat ulah
adalah teman. Seandainya militansi tanpa kekerasan ala BCS ini bisa ditularkan
ke seluruh Indonesia, saya pikir tidak perlu lagi ada korban selanjutnya yang
jatuh hanya gara-gara berbeda kostum.
Selama masih satu Indonesia, tidak ada alasan untuk
gontok-gontokan.
LIKE FOR BCS
BalasHapus